SANTRI DITENGAH GLOBALISASI


Satu sisi pesantren (terutama pesantren salaf) adalah lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas dengan yang lain. Sebagai lembaga pendidikan tertua sejak sekitar abad 19 (masa pemerintahan kolonial Belanda) yang mengkhususkan dalam hal agama dan masih tetap melestarikan tradisi lokal sampai sekarang. Di sisi yang lain, globalisasi menawarkan sejuta kemudahan, seakan akan (mohon maaf!) untuk nyantri tidak harus diidentikkan dengan sarung dan mengaji di langgar saja, atau dengan duduk dan mengaji kitab kuning sambil mendengarkan Kyai bertutur, tapi bisa juga dengan cukup mendownload di Internet (atau sudah dalam bentuk program CD yang bisa diakses lewat komputer) maka Kitab yang kita inginkan akan segera muncul beserta terjemahanya dengan lengkap. apalagi kalau yang kita akses adalah kitab Tafsir maka cukup dengan menuliskan ayat apa yang kita maksud maka munculah ayat itu lengkap dengan terjemahan dan tafsir dari para Ulama' dahulu sampai Ulama' kontemporer.

1. Problematika Santri.
Kalau kita mengulas potret kehidupan santri, seakan tiada pernah ada habisnya. Diawali dari pengertian kata "santri". Dilihat dari asal usulnya, secara terminologis atau definisi kata “santri”, sekurang-kurangnya ada 2 pendapat (menurut Nur Cholis Madjid) yang dapat digunakan sebagai bahan acuhan. Pertama. Pendapat yang mengatakan bahwa santri berasal dari perkataan sastri, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf (tahu huruf), lebih-lebih pada permulaan kebangkitan kekuasaan politik Islam di Demak. Kaum santri adalah kelas intelek bagi orang Jawa, di sebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan bahasa Arab. Kedua, dari bahasa Jawa dari kata cantrik yang artinya seseorang yang mengikuti seorang kiai di manapun ia pergi menetap untuk menguasahi suatu bidang keahlian sesuai bidangnya. Santri yang di kenal sebagai penghuni pesantren setiap harinya, membentuk suatu karakter khas, yang tentunya di pengaruhi oleh sosok pengasuh atau kiai dan lingkungan yang di tempatinya. Sosok santri yang biasanya tubuhnya di bungkus sarung, baju panjang, peci serta lengkap dengan alas kaki seadanya, serta makan seadanya dengan bersama-sama. Menjadi ciri tersendiri dan dengan mudahnya dapat membedakan namanya santri dan bukan.
Kalau mau disadari, terdapat berbagai macam problematika internal yang signifikan yang kaitannya dengan perkembangan kualitas kaum santri di pesantren di tengah era globalisasi. Seorang santri selalu identik dengan pelajar yang menekuni ilmu agama dan bermoral baik yang dipersiapkan sebagai kholifah dalam masyarakat untuk mengembangkan Islam. Akan tetapi keadaan tersebut mengalami degradasi dalam berbagai hal. Diantaranya bidang pendidikan, moral, intelektual dan sebagainya. Faktor penyebabnya diantaranya adalah :
1. Motivasi santri untuk menuntut ilmu liwajhillah cenderung melemah. Pendidikan pesantren cenderung bersifat formalitas yang ujung-ujungnya hanya berorientasi pencarian ijasah formal yang bernilai ekonomis atau untuk peningkatan stasus sosial di masyarakat. Perilaku etis santri sudah susah di bedakan dengan non santri.
2. Pengaruh arus globalisasi yang demikian pesatnya sehingga meruntuhkan nilai-nilai moralnya, terutama bagi santri yang tidak siap dengan filter budaya dalam menghadapinya.
3. Lemahnya kontrol dan pengawasan, sehingga tidak ada budaya belajar yang kontinu di lingkungan pesantren, dan hanya terjebak pada rutinitas kegiatan yang miskin makna.
4. Kurangnya variasi metodologi pengajaran, karena dalam pesantren hal-hal yang bersifat penalaran atau analisa cenderung tersingkirkan sedangkan yang bersifat dogmatik lebih dominan. Hal ini disebabkan karena metode pendidikan terhadap santri bersifat pasif sehingga mengakibatkan santri tidak dapat aktif serta tidak dinamis, tidak dapat mengembangkan intelektualitasnya.
5. Kurangnya sinkronisasi kurikulum pondok dan sekolah sehingga sering terjadi tumpang tindih materi pelajaran, yang menyebabkan kejumudan belajar pada diri santri.
Padahal santri adalah tumpuan harapan keluarga dan masyarakat. Agar disaat pulang nanti santri mampu mengentaskan mereka sendiri dari sifat kekanak-kanakan yang menggerogoti jiwanya. Dan mampu membimbing dan mengarahkan keluarga dan masyarakat menuju hidup dalam kemapanan. Melihat tugas dan tantangan yang begitu besar, maka tak ada lagi solusi, selain menjadikan santri sebagai figur manusia yang kuat jiwanya, tidak mudah terguncang oleh gelombang arus global, dan juga cerdas, luas wawasannya agar bisa memecahkan segala masalah yang menimpa dirinya dan masyarakat sekitarnya. Setidaknya mereka mempunyai basic yang kuat sebagai modal menghadapi masyarakat yang semakin lama semakin berkembang pesat akibat arus modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Bagaimana harusnya sikap pesantren dalam hal ini santri di era globalisasi ini ?
2. Tantangan Santri di Era Globalisasi.
Globalisasi dan Modernisasi adalah dua sisi dari satu mata uang, Ia juga menawarkan sebuah pilihan yang ambivalen, satu sisi manfaat kalau memang kita sudah siap dan mampu mengaksesnya, dan mungkin juga membawa petaka kalau kita gagap (GAPTEK=gagap teknologi) dan tidak siap menghadapinya. Globalisasi juga menawarkan berbagai macam pilihan, bisa menguntungkan juga membahayakan. Sebab didalam globalisasi terjadi kompetisi, bukan hanya yang kuat dengan yang kuat saja yang berkompetisi tetapi juga yang kuat dan yang lemah dituntut pula berkompetisi. Globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang nyata yang mau tak mau akan kita hadapi bersama dan tak terelakkan (inevitable), karena ia sudah menembus intitusi kenegaraan sampai institusi keluarga, bahkan sudah masuk ke dalam rumah kita dan meyelinap ke kamar-kamar kita. Globalisasi pun menawarkan sejuta mimpi, harapan, serta kemudahan dalam mengakses informasi dan ilmu pengetahuan, dimana akses informasi yang begitu cepat akan sedikit demi sedikit bisa merubah konstruksi paradigma pemikiran kita dan lambat laun akan digantikan oleh paradigma baru. Pesantren yang ghalibnya merupakan palang pintu pelestarian tradisi Islam dan ulama' akan segera diuji kekokohanya oleh yang namanya globalisasi.
Globalisasi lebih dari sekadar lonjakan volume lalu lintas ekspor dan impor. Ia menyangkut perubahan mendalam pada semua aspek kehidupan. Sebagaimana komunikasi Jakarta-Jombang kini bisa dilakukan dalam sekejap, begitu pula komunikasi antara Makkah-Tambakberas tidak lagi membutuhkan waktu berbulan. Dan itu terjadi pada migrasi, transportasi, media, perdagangan, dan sebagainya. Dan dunia tidak lagi sunyi karena jarak waktu ruang, tetapi riuh rendah dengan lalu lintas pertukaran barang, gagasan, perasaan, sampai perkara-perkara maya (virtual). Sebagai arena tukar wawasan, pikiran, perdagangan, budaya, ilmu pengetahuan dan lain-lain dunia kita ini kian menjadi satu unit/globe.
Satu sisi pesantren (terutama pesantren salaf) adalah lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas dengan yang lain. Sebagai lembaga pendidikan tertua sejak sekitar abad 19 (masa pemerintahan kolonial Belanda) yang mengkhususkan dalam hal agama dan masih tetap melestarikan tradisi lokal sampai sekarang. Di sisi yang lain, globalisasi menawarkan sejuta kemudahan, seakan akan (mohon maaf!) untuk nyantri tidak harus diidentikkan dengan sarung dan mengaji di langgar saja, atau dengan duduk dan mengaji kitab kuning sambil mendengarkan Kyai bertutur, tapi bisa juga dengan cukup mendownload di Internet (atau sudah dalam bentuk program CD yang bisa diakses lewat komputer) maka Kitab yang kita inginkan akan segera muncul beserta terjemahanya dengan lengkap. apalagi kalau yang kita akses adalah kitab Tafsir maka cukup dengan menuliskan ayat apa yang kita maksud maka munculah ayat itu lengkap dengan terjemahan dan tafsir dari para Ulama' dahulu sampai Ulama' kontemporer.
Memang hal ini akan sedikit kontraproduktif, karena dalam tradisi salaf ada istilah "ngalap barokah" atau "mencari sanad". Dan kami tak bermaksud mendikotomikan kedua hal tersebut. Yang perlu kita renungkan adalah pertimbangan diversifikasi metode dalam mencapai suatu tujuan agar kita mampu untuk meraih kedua-duanya, dan tidak terpaku pada satu kurikulum saja. Sehingga dengan semakin kompleksnya problematika umat, seorang santri dan pesantrennya akan tetap eksis diantara himpitan modernitas dan globalisasi.
3. Jalan Tengah (Tawasuth)
Ada baiknya kalau santri bijak menghadapi derasnya arus global ini. Kalau serta merta menolak globalisasi dengan melestarikan konstruksi lama dan tidak mau melihat sesuatu yang baru didepan mata, sangat jelas ini akan merugikan diri sendiri di kemudian hari. Meninggalkan tradisi lama bagi pesantren juga merupakan hal yang keliru, seolah-olah kita melupakan identitas dan sejarah kita yang tentu juga kaya akan makna dan simbol luhur (kesederhanaan, keikhlasan, keseteraan dll) dan sangat tidak bijak juga kalau mengatakan sesuatu yang lama itu buruk, kolot, ketinggalan zaman dan sebagainya. Akan lebih bijak kalau pesantren dan santri memaknai kembali aplikasi kaidah Ushul Fiqih ajaran para ulama' : "Al muhafadhotu alaa qodimi shalih wal akhdu bi jadidil ashlah"(melestarikan nilai nilai lama yang baik dan menggali nilai nilai baru yang lebih baik).
Dan Alhamdulillah, para kyai tidak henti-hentinya berikhtiar mengupayakan dipertahankannya tradisi keislaman yang selama berabad-abad masih tetap dianggap baik dan mengupayakannya untuk dipadu dengan tradisi baru yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kehidupan moderen. Beliau terus berupaya memadu tradisi dengan modernitas, meskipun mencapai hasilnya belum maksimal. Tinggal kita kaum santri yang harus cerdas dalam mencerna. Padahal dalam sejarah kebudayaan Islam, tercatat bahwa tradisi Islam yang lamapun adalah bagian dari kehidupan global. Sebagai contoh, kemajuan umat Islam pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah adalah buah dari kemampuan umat Islam saat itu sebagai pelaku kehidupan dan pembangun peradaban global/modern pada jamannya. Pada periode itu Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin secara maksimal. Beda dengan saat ini, Islam menjadi “tertuduh teroris” dalam pentas percaturan dunia. Dimana kaum santri ?. Akankah santri hanya menjadi penonton, obyek dan atau jadi korban arus globalisasi ? atau lebih memilih menjadi sastri (asal kata santri=melek teknologi) sehingga dia bisa menjadi bagian bahkan menjadi aktor dan pelaku globalisasi, tentunya untuk amar maruf nahi munkar !!! Amiin !!!. Silahkan pilih !

M.THOLIB,S.Pd.
(Alumni Pon.Pes. "Al-Idris"Karangrejo, Surabaya)

0 komentar:

Posting Komentar

"JIKA YANG LEBIH BAIK MEMUNGKINKAN, MAKA YANG BAIK SAJA TIDAKLAH CUKUP!"...!!!
My Family Slideshow: M.Tholib’s trip from Jombang (near Mojokerto, Java, Indonesia) to Surabaya was created by TripAdvisor. See another Surabaya slideshow. Create a free slideshow with music from your travel photos.